Hukum Investasi Menurut Islam
Investasi yang dalam istilah
hukum Islam disebut mudharabah adalah adalah menyerahkan modal uang
kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan.
Bentuk usaha ini meli-batkan dua pihak: pihak yang memiliki modal namun tidak
bisa berbisnis. Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki
modal. Melalui usaha ini, keduanya saling melengkapi.
Para ulama sepakat bahwa sistem
penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem ini adalah ijma” ulama
yang membolehkannya.
Diriwayatkan dalam al-Muwaththa
:
“dari Zaid bin Aslam, dari
ayahnya bahwa ia menceritakan, “Abdullah dan Ubaidullah bin Umar bin
Al-Khaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika mereka
kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa al-Asy”ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau
menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita.
Beliau berkata, “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian,
pasti akan kulakukan.” Kemudian beliau me-lanjutkan, “Sepertinya aku bisa
melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul
Mukminin. Saya me-minjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuatu di
Iraq ini, kemudian kalian jual di kota Madinah. Kalian kembalikan modalnya
kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata, “Kami
suka itu.” Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat
untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khaththab agar Amirul Mukminin itu
meng-ambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Madinah,
mereka menjual barang itu dan mendapatkan keun-tungan. Ketika mereka
membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas bertanya, “Apakah setiap anggota
pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian
berdua?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Apakah karena kalian adalah
anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang
itu beserta keun-tungannya.” Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Semen-tara
Ubaidullah langsung angkat bicara, “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian
wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan
bertanggung jawab.” Umar tetap berkata, “Berikan uang itu semuanya.” Abdullah
tetap diam, sementara Ubaidullah tetap membantah. Tiba-tiba salah se-orang di
antara sahabat Umar berkata, “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai
investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab, “Ya. Aku jadikan itu sebagai
investasi modal.” Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya,
se-mentara Abdullah dan Ubaidullah mengambil setengah keuntungan sisanya.”
Diriwayatkan juga dari al-Alla
bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan memberinya
uang sebagai modal usaha, dan keuntungannya dibagi dua.
Satu hal yang logis, bila
pengembangan modal dan pening-katan nilainya merupakan salah satu tujuan yang
disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan melalui pemu-taran
atau perdagangan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu
berjual-beli. Dan tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka
masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu bisnis
penanaman modal ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan keduabelah pihak.
Kemudian para ulama menjelaskan,
investasi yang benar dan diperbolehkan menurut hukum Islam adalah investasi
yang memenuhi kriteria berikut
Rukun Investasi
Investasi dipandang sah menurut
hukum bila terpenuhinya tiga rukun yaitu :
1. Pelaku (investor dan
pengelola modal)
Kedua pihak di sini adalah
investor dan pengelola modal. Keduanya disyaratkan memiliki kompetensi
beraktivitas. Yakni orang yang tidak dalam kondisi bangkrut terlilit hutang.
Orang yang bangkrut terlilit hutang, orang yang masih kecil, orang gila, orang
ediot, semuanya tidak boleh melaksanakan transaksi ini. Dan bukan merupakan
syarat bahwa salah satu pihak atau kedua pihak harus seorang muslim. Boleh saja
bekerja sama dalam bisnis penanaman modal ini dengan orang-orang kafir Ahlu
Dzimmah (orang kafir yang dilindungi, pent.) atau orang-orang Yahudi dan
Nashrani yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti ada-nya pemantauan
terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga aktivitas
tersebut terbebas dari riba dan berbagai bentuk jual beli yang berdasarkan
riba.
2. Akad perjanjian
Akad perjanjian ini merupakan
titik awal terjadinya bisnis ini sekaligus sebagai dasar dari penentuan besaran
prosentasi pembagian keuntungan. Maka dari itu dalam akad perjanjian ini harus
dilaksanakan dalam keadaan sadar dan tidak ada unsur paksaan sehingga kedua pihak
sama-sama ridho.
3. objek transaksi
Objek transaksi dalam penanaman
modal ini tidak lain adalah modal, usaha dan keuntungan.
a. Modal
Syarat modal yang bisa digunakan
investasi adalah harus merupakan alat tukar, seperti emas, perak atau uang
secara umum. Modal ini tidak boleh berupa barang, kecuali bila disepakati untuk
menetapkan nilai harga barang tersebut dengan uang. Sehingga nilainya itulah
yang menjadi modal yang digunakan untuk memulai usaha.
Mengapa dilarang penanaman modal
dengan meng-gunakan barang komoditi?. Alasannya adalah karena tidak
jelasnya besar keuntungan saat pembagian keuntungan. Ini terjadi karena harga
barang itu (yang dijadikan modal) diketahui dengan perkiraan dan rekaan saja,
dan itupun bisa ber-beda-beda dengan perbedaan alat tukar yang digunakan.
Ketidak-jelasan itulah yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan dan pertikaian.
Karena ketika ia mengambil barang, harganya sekian. Dan ketika ia
mengembalikannya, harganya sudah berbeda pula. Hal itupun berimbas pada
ketidakjelasan keuntungan dan modal.
b. Usaha
Usaha pokok dalam penanaman modal
adalah di bidang perniagaan atau bidang-bidang terkait lainnya. Di antara yang
tidak termasuk perniagaan adalah bila pengelola modal mencari keuntungan
melalui bidang perindustrian. Bidang perindustrian tidak bisa dijadikan lahan
penanaman modal, karena itu adalah usaha berkarakter tertentu yang bisa
disewakan. Kalau seseorang menanamkan modal untuk usaha perindustrian, maka
penanaman modal itu tidak sah, seperti menanamkan modal pada usaha pemintalan
benang yang kemudian ditenun dan dijual hasilnya. Atau untuk usaha penumbukan
gandum, lalu setelah menjadi tepung diadoni dan dijual. Demikian seterusnya.
Hanya saja kalangan Hambaliyah
berpandangan bahwa penanaman modal semacam itu dibolehkan, yakni dengan cara
menyerahkan juga alat-alat perindustrian ke pengelola industri dengan imbalan
sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal ini dikiyaskan dengan muzaraah.
Mereka yang membolehkan beralasan bahwa alat itu adalah materi yang
dikembangkan melalui usaha, sehingga sah diikat dengan perjanjian usaha dengan
imbalan sebagian keuntungan perusahaan. Seperti modal tanah dalam muzara’ah.
Pengelola modal tidak boleh
bekerjasama dalam penjualan barang-barang haram berdasarkan kesepakatan ulama.
Seperti jual beli bangkai, darah, daging babi, minuman keras, dan jual beli
riba atau yang sejenisnya.
c. keuntungan
Keuntungan dalam bisnis ini adah
hak kedua belah pihak, yang pembagiannya harus memenuhi syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh hukum Islam :
-Diketahui secara jelas yang ditegaskan saat transaksi dengan prosentase
tertentu bagi investor dan pengelola modal.
Yang perlu diingat, prosentasi ini bukan dari modal tapi dari keuntungan.
Kesalahan yang sering terjadi adalah investor mendapatkan keunungan dari prosentase
modal. Misalnya 10 % dari modal, apalagi ada embel-embel perbulan. Ini
jelas-jelas haram karena yang seperti ini termasuk riba.
-Keuntungan dibagikan dengan prosentase yang sifatnya merata, seperti
setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah
keuntungan pasti (misalnya 5 juta) bagi salah satu pihak, sementara sisanya
untuk pihak lain, maka menurut kesepakatan ulama investasi ini
tidak sah , tanpa perlu diperdebatkan lagi
Selanjutnya, bila ternyata tidak
ada keuntungan sama sekali atau bahkan rugi, siapa yang harus menanggung
kerugian tersebut?.
Dalam aturan hukum Islam, hanya
pemilik modal saja yang menanggung kerugian. Pengelola modal hanya mengalami
kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian itu adalah ungkapan yang
menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah persoalan atau tanggung jawab
pemilik modal. Pengelola tidak memilik kekuasaan dalam hal itu, sehingga
kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihak
lain.
Untuk mengatasi kerugian ini ada
dua opsi yang harus dilakukan :
- Pemilik modal mengucurkan
dana segar sebesar kesugian tersebut.
- Kerugian ditutup dengan
keuntungan selanjutnya
Melihat permasalahan keuntungan
seperti itu maka ada 3 hal yang harus diperhatikan
- Keuntungan dijadikan sebagai
cadangan modal. artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia
menyerahkan kembali modal yang ada. Karena keun-tungan itu adalah kelebihan
dari modal. Kalau belum menjadi tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau
ada keun-tungan di satu sisi dan kerugian atau kerusakan di sisi lain, maka
kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu de-ngan keuntungan
yang ada, kemudian yang tersisa dibagi-bagikan berdua sesuai dengan
kesepakatan.
- Pengelola tidak boleh mengambil
keuntungan sebelum masa pembagian. Pengelola sudah berhak atas bagian
keuntungan dengan semata-mata terlihatnya keuntungan tersebut. Akan tetapi hak
tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir masa perjanjian. Oleh sebab
itu tidak ada hak bagi pengelola modal untuk mengambil bagiannya dari
keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi akhir itu. Dan pembagian itu
hanya dengan izin dari pemilik modal atau dengan kehadirannya. Tidak diketahui
adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini.
Alasan tidak dibolehkannya
pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa
pembagian adalah sebagai berikut
- Bisa jadi terjadi kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal. Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga.
- Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa kehadirannya.
- Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak
sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Cara Pembagian Keuntungan
Ada dua cara dalam pelaksanaan pembagian
keuntungan yaitu :
1. Perhitungan akhir terhadap
usaha. Dengan cara ini pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan
menyelesaikan atau mengakhiri ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
2. Perhitungan akhir terhadap
kalkulasi keuntungan. Dengan cara ini penguangan aset dan menghadirkannya lalu
menetapkan nilainya secara kalkulatif, dan pemilik modal bisa mengambilnya,
atau kalau ia ingin modal itu diputar kembali, berarti harus dilakukan akad
perjanian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
sumber : Hasyiyah
al-Bajuriy dan kitab-kitab fiqih lain
Komentar
Posting Komentar