KONSEP NILAI SANERING
1. Pengertian Sanering
Sanering berasal dari bahasa belanda
yang berarti “penyehatan, pembersihan atau reorganisasi”. Sedangkan menurut
konteks ilmu moneter, sanering adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi
nilai harga, sehingga daya beli masyarakat menurun. Misalnya, jika nilai uang
Rp.100.000,00 dipotong menjadi Rp. 100,00 karena nialinya sudah diturunkan.
Jumlah barang yang dibeli dengan uang baru akan lebih sedikit dibandingkan
dengan uang lama. Jika Rp.100.000,00 lama bisa dapat baju satu, maka dengan
uang Rp.100,00 pecahan baru tidak bisa lagi mendapatkan baju yang sama.
2. Dampak Sanering
A)Dampak positif (manfaat) sanering
Kebijakan sanering yang pernah
dilakukan pemerintah di indonesia dimulai pertama kali pada tahun 1950,
Tepatnya 19 maret 1950. Pemerintah melakukan sanering yaitu untuk mengatasi
situasi perekonomian indonesia yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang
menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung tinggi. Hal tersebut disebabkan
perekonomian indonesia yang masih belum tertata setelah kemerdekaan. Untuk
itupemerintah melakukan tindakan sanering yang dikenal dengan sebutan gunting
syafruddin.
Kemudian pemerintah kembali
melakukan tindakan sanering yang kedu pada tahun 1959, tepatnya pda 25 agustus 1959.
Hal ini dilakukan untuk menekan laju inflasi sehingga pemerintah mengeluarkan
peraturan pemerintah (PEPRU) No. 2 dan N0. 3 tahun 1959 yang pada intinya
melakukan pemotongan nilai uang kertas dari Rp. 500,- dan Rp.. 1000,- menjadi
Rp. 50,- dan Rp. 100,-. Dan pembekuan simpanan (giro dan deposito) di
bank-bank.
Selanjutnya pemerintah untuk yang
ketiga kalinya melakukan tindakan sanering dengan sebab dan alasan yang sama
dengan sebelumnya, yaitu untuk mengurangi jumlah uang yang beredar yang
disebabkan oleh inflasi. Kebijakan sanering ini dilakukan oleh pemerintah
tepatnya pada 13 desember 1965. Hal ini menyebabkan penurunan drastis pada
rupiah dari nilai Rp.1000,- (uang lama) menjadi Rp.1,-(uang baru).
Jika dilihat dari sebab terjadinya
sanering mulai 1950, 1959 dan 1965. Maka kebijakan sanering yang dilakukan
pemerintah terlihat adanya dampak positif (manfaatnya) yaitu:
1. Pada
sanering tahun 1950, untuk mengatasi
situasi ekonomi indonesia yang saat itu sedang terpuruk dan belum tertata
setelah kemerdekaan, yakni utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.
Dengan adanya sanering bisa mengisi kas pemerintah yang kosong setelah
kemerdekaan dan menurunkan harga-harga akibat inflasi.
2. Sanering
pada tahun 1959 dilakukan untuk menekan laju inflasi dan menutup hutang
pemerintah di bank yaitu dengan adanya pembekuan simpanan (giro dan deposito ) yang diganti dengan simpanan jangka
panjang oleh pemerintah. Sehingga membantu menutup sebagian hutang pemerintah.
3. Sanering
pada tahun 1965 dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat
inflasi yang telah menjadi hyperinflasi.
B.
Dampak negatif (mudarat) sanering
Setelah diuraikan sebelumnya tentang
adanya manfaat dari kebijakan sanering, akan tetapi terdapat juga dampak
negatif (mudarat) dari kebijakan sanering yaitu:
1. Kebijakan
sanering yang dilakukan pada tahun 1950 kurang tepat dilakukan pemerintah pada
saat itu karena menyebabkan terjadinya tindakan sanering berikutnya yang
semakin menyebabkan masyarakat menderita. Dan pada dasarnya sanering tersebut
dilakukan cenderung untuk kepentingan pemerintah semata, yaitu untuk mengatasi
hutang pemerintah yang menumpuk tanpa memikirkan kesulitan rakyatnya yang
disebabkan pemotongan nilai rupiah tersebut.
2. Sanering
yang kedua yaitu tahun 1959 menyebabkan banyak bank-bank yang mengalami
kesulitan liquiditas. Sehingga akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan
pemerintah (PERPU) No.2 dan N0.3 yang isinya melakukan penurunan nilai rupiah
dan pembekuan simpanan di bank-bank.
3. Sanering
yang ketiga juga tidak membawa perubahan yang lebih baik karena terjadi
penurunan secara drastis nilai rupiah dari Rp1000,- menjadi Rp1,-. Setelah itu
tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga pada saat terjadi krisis
financial di Asia tahun 1997, nilai rupiah semakin menurun dan tidak berharga.
3.Pengalaman kebijakan sanering di
Indonesia
a.kebijakan
sanering terjadi pertama kali dilakukan pada tahun 1950, tepatnya 19 maret 1950
yang dikenal dengan sebutan “gunting sjafruddin. Kebijakan ini ditetapkan oleh
Syafruddin Prawiranegara, menteri keuangan dalam kabinet Hata II. Kebijakan
tersebut dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang
terpuruk. Yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung.
Menurut kebijakan tersebut uang
merah (uang NICA) dan uang De Javanesche bank dari pecahan Rp5,- digunting
menjadi dua. Gunting kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan
nilai setengah dari nilai semula. Kemudian gunting kiri itu harus ditukar
dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk.
Selebihnya bisa juga tidak berlaku atau dibuang. Sedangkan bagian kanan juga
tidak berlaku, tetapi masih bisa ditukarkan dengan obligasi negara sebesar
setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3%
setahun. Hal ini juga berlaku pada simpanan di bank.
b.Kebijakan
sanering yang kedua yaitu terjadi pada tahun 1959. Kebijakan sanering ini salah
satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan laju inflasi. Akan
tetapi akibat dari kebijakan ini banyak bank-bank yang mengalami kesulitan
liquiditas, yang ditanggapi bank indonesia melalui pemberian kredit. Yaitu
terjadi pada tanggal 25 agustus 1959, pemerintah melakukan kebijakan sanering
dengan memberlakukan peraturan pemerintah (PERPU) No.2 dan No.3 tahun 1959 yang
isinya adalah:
1. Penurunan nilai uang kertas Rp
500 dan Rp 100 menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Perpu No.2 tahun 1959). Penukaran uang
kertas ini harus di lakukan sebelum 1 januari 1960 (Perpu No.6 tahun 1959).
Sedangkan untuk nilai uang yang hialng akibat pemberlakuan Perpu No.2, tidak
akan diperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu N0.5 tahun 1959, 25
agustus 1959).
2. Pembekuan sebagian simpanan pada
bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan di atas Rp
25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang di bekukan akan diganti dengan
simpanan jangka panjang oleh pemeritah (Perpu No.3 tahun 1959 tanggal 24
agustus 1959).
c.
kebijakan sanering yang ketiga kalinya dilakukan pada tahun 1965. Tepatnya pad
a13 desember 1965, pada sanering yang ketiga ini terjadi penurunan nilai
drastis dari nilai Rp 1000,- (uang lama) menjadi 1,- (uang baru). Kebijakan ini
harus dilakukan lagi oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar
ajibat inflasi. Karena sejak dilakukan tindakan sanering yang kedua, pada tahun
1959, inflasi memang menurun. Akan tetapi harga tetap menunjukan kenaikan.
Tetapi sejak tahun 1960, inflasi kembali mengalami peningkatan. Bahkan pada
tahun 1962, inflasi meningkat menjadi hyperinflasi. Untuk itu pemerintah
kembali mengeluarkan pereturan melalui penetapan presiden (Penpre) No.27 pasal
3 tahun 1965 yang isinya adalah:
1. Sesudah 1 (satu) bulan
berlakunya penetapan presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank Negara
Indonesia dari pechan-pecahan Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan Rp5.000,-
(lima ribu rupiah) yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum
penetap presiden ini berlaku, tidak lagi merupan alat pembayaran yang sah.
2. Sesudah 3 (tiga) bulan
berlakunya penetapan presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank Negara
Indonesi dari pecahan Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah), Rp.1000,-
(seribu rupiah) dan Rp.500,- (lima ratus rupiah) yang beredar sebagai alat
pembayaran yang sah sebelum penetapanpresiden ini berlaku, tidak lagi merupakan
alat pembayaranyang sah.
3. Sesudah 6 (enam) bulan
berlakunya penetapan presiden ini maka semua jenis uang kertas di bank, uang
kertas pemerintah dan uang logam dari pecahan-pecahan Rp.100,- (seratus rupiah)
ke bawah yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum penetapan
presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.
4. Penarikan uang rupiah Irian
Barat dari peredaran yang berlaku dan beredar sebagai alat pembayaran yang sah
sebelum penetapan presiden ini berlaku, akan diatur lebih lanjut oleh
pemerintah”.
Sejak
saat itu akibat dari pengeluaran uang rupiah baru yang nilainya ditetapkan
sebesar 1000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga barang-barang
dalam rupiah baru menjadi seperseribu dari harga uang rupiah lama. Hal ini
menunjukan bahwa nilai tukar antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama
bergerak antara 1:10. Jadi nilai uang rupiah baru hanya dinilai kurang lebih 10
kali lebih tinggi daripada uang rupiah lama. Setelah itu tanpa henti terjadi
depresiasi nilai mata uang rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di
Asia tahun 1997 nilai 1,- US $ menjadi Rp.5.500 dan terus-menerus tidak
terkendali.
Komentar
Posting Komentar