EKONOMI REGIONAL
TEORI BASIS DAN NON BASIS EKONOMI
Dalam pengertian ekonomi regional dikenal adanya
pengertian sector basis dan sektor non basis. Pengertian sektor basis (sektor
unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik
itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam
kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika
sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain.
Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai
sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor
yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik
(Wijaya, 1996). Inti dari teori basis ekonomi menurut Arsyad, dalam Sadau
(2002) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah
adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah.
Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja
dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan
peluang kerja (job creation).
Pendekatan basis ekonomi sebenarnya dilandasi pada
pendapat bahwa yang perlu dikembangkan di sebuah wilayah adalah kemampuan
berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut secara efisien dan efektif.
Secara umum, analisis ini digunakan untuk menentukan sector basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan
untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor
andalannya. Pentingnya ditetapkan komoditas unggulan di suatu wilayah
(nasional, provinsi dan kabupaten) dengan metode LQ, didasarkan pada
pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan
manusia) untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat
diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas. Selain itu hanya
komoditas-komoditas yang diusahakan secara efisien yang mampu bersaing secara
berkelanjutan, sehingga penetapan komoditas unggulan menjadi keharusan agar
sumberdaya pembangunan di suatu wilayah lebih effisien dan terfokus (Handewi,
2003). Lebih
lanjut model ini menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah atas dua
sektor,
yaitu:
1. Sektor basis, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi
yang melayani baik pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Sektor
basis mampu menghasilkan produk/jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah.
Itu berarti daerah secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk mengekspor
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain. Artinya
sektor ini dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah sendiri maupun
daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan.
2. Sektor non basis, yaitu sektor atau kegiatan yang
hanya mampu melayani pasar daerah itu sendiri sehingga permintaannya sangat
dipengaruhi kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi
pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non
unggulan. Menurut Tarigan (2007), metode untuk memilah kegiatan basis dan
kegiatan non basis adalah sebagai berikut :
a. Metode Langsung dilakukan dengan survei langsung
kepada pelaku saha kemana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari
mana mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkanproduk tersebut.
Kelemahan metode ini yaitu : pertanyaan yang berhubungan dengan pendapatan data
akuratnya sulit diperoleh, dalam kegiatan usaha sering tercampur kegiatan basis
dan non basis.
b. Metode Tidak Langsung Metode ini dipakai karena
rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari sudut waktu dan biaya. Metode
ini menggunakan asumsi, kegiatan tertentu diasumsikan sebagai kegiatan basis
dan kegiatan lain yang bukan dikategorikan basis adalah otomatis menjadi
kegiatan basis.
c. Metode Campuran Metode ini dipakai pada suatu
wilayah yang sudah berkembang, cukup banyak usaha yang tercampur antara
kegiatan basis dan kegiatan non basis. Apabila dipakai metode asumsi murni maka
akan memberikan kesalahan yang besar, jika dipakai metode langsung yang murni
maka akan cukup berat. Oleh karena itu orang melakukan gabungan antara metode
langsung dan metode tidak langsung yang disebut metode campuran. Pelaksanaan
metode campuran dengan melakukan survei pendahuluan yaitu pengumpulan data
sekunder, kemudian dianalisis mana kegiatan basis dan non basis. Asumsinya apabila
70 persen atau lebih produknya diperkirakan dijual ke luar wilayah maka maka
kegiatan itu langsung dianggap basis. Sebaliknya apabila 70 persen atau lebih
produknya dipasarkan ditingkat lokal maka langsung dianggap non basis. Apabila
porsi basis dan non basis tidak begitu kontras maka porsi itu harus ditaksir.
Untuk menentukan porsi tersebut harus dilakukan survei lagi dan harus
ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan data sekunder
dan sektor mana yang membutuhkan sampling pengumpulan data langsung dari pelaku
usaha.
d. Metode Location Quotient Metode LQ membandingkan
porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sector tertentu untuk lingkup wilayah
yang lebih kecil dibandingkan dengan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk
sektor yang sama untuk lingkup wilayah yang lebih besar.
LQ =
Ket :
li = Banyaknya lapangan kerja sector i di wilayah
analisis
e = Banyaknya lapangan kerja di wilayah analisis
Li = Banyaknya lapangan kerja sector i secara
nasional
E = Banyaknya lapangan kerja secara nasional
Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum
digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sector
kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau
derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Dari
rumus diatas, apabila LQ > 1 berarti porsi lapangan kerja atau nilai tambah
sektor i di wilayah analisis terhadap total lapangan kerja atau nilai tambah
wilayah adalah lebih besar dibandingkan dengan porsi lapangan kerja atau nilai
tambah untuk sektor yang sama secara nasional. LQ > 1 memberikan indikasi
bahwa sektor tersebut adalah basis sedangkan apabila LQ < 1 berarti sektor
tersebut adalah non basis.
Location Quotient adalah suatu alat pengembangan
ekonomi yang sederhana dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya. Menurut Hendayana (2000), kelebihan metode LQ
dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana,
mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Penyelesaian
analisis cukup dengan spread sheet dari Excel bahkan jika datanya tidak terlalu banyak kalkulator pun bisa
digunakan. Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ
ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ
tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena
itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini maka validitas data sangat
diperlukan. Disamping itu untuk menghindari bias diperlukan nilai rata-rata
dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun.
Sementara itu di lapangan, mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami
hambatan. Keterbatasan lainnya dalam deliniasi wilayah kajian. Untuk menetapkan
batasan wilayah yang dikaji dan ruang lingkup aktivitas, acuannya sering tidak
jelas. Akibatnya hasil hitungan LQ terkadang aneh, tidak sama dengan apa yang
kita duga. Misalnya suatu wilayah provinsi yang diduga memiliki keunggulan di
sektor non pangan, yang muncul malah pangan dan sebaliknya. Oleh karena itu
data yang dijadikan sumber bahasan sebelum digunakan perlu diklarifikasi
terlebih dahulu dengan beberapa sumber data lainnya, sehingga mendapatkan
gambaran tingkat konsistensi data yang mantap dan akurat . Inti dari model
ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan
oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk
barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang asing
yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak
(Budiharsono, 2001).
Teori basis ini selanjutnya menyatakan bahwa karena
sektor basis menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijual keluar daerah yang
meningkatkan pendapatan daerah tersebut, maka secara berantai akan meningkatkan
investasi yang berarti menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan pendapatan
tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap industriy basic, tetapi juga menaikkan
permintaan akan industry non basic. Dengan dasar teori ini maka identifikasi sektor unggulan/sektor basis
sangat penting terutama dalam rangka
menentukan prioritas dan perencanaan pembangunan ekonomi didaerah. Oleh
karena itu perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka memacu
pertumbuhan ekonomi daerah. Manfaat mengetahui sektor unggulan yaitu mampu
memberikan indikasi bagi perekonomian secara nasional dan regional. Sektor
unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh lebih cepat
dibandingkan sector lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung
terhadap sector unggulan tersebut yaitu akumulasi modal, pertumbuhan tenaga
kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi (technological progress).
Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi
sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Bank Indonesia,
2005).
Nah, sekarang bagaimana kaitan
Teori Basis Ekspor dengan isu persoalan tenaga kerja Indramayu. Salah satu
faktor yang mempengaruhi pertumbuahan suatu wilayah adalah penduduk. Faktor
penduduk dari segi kuantitas maupun kualitas akan sangat menentukan suatu
daerah tumbuh atau malah mengalami kemunduran. Salah satu fenomena yang terjadi
di “kota mangga” Kabupaten Indramayu adalah banyak dari penduduknya yang
bekerja di luar daerah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri ( TKI ). (
maaf penulis belum mendapatkan data pasti jumlah penduduk Indramayu yang
bekerja di luar daerah atau luar negeri, apabila ada pembaca yang tahu datanya
tolong beri tahu penulis ). Namun sebagai gambaran, jumlah penduduk desa
Sukaurip Kecamatan Balongan Indramayu pada tahun 2005 adalah sekitar 3000 jiwa,
sedangkan yang bekerja di luar negeri sekitar 700 jiwa. Itu tidak termasuk
penduduk yang bekerja di luar daerah Indramayu yang masih di dalam negeri
seperti Batam, Dumai, Kalimantan, Papua, Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia.
Tentunya kita sepakat bahwa para pekerja asal Indramayu banyak menghasilkan
uang dari luar yang kemudian dikirimkan ke keluarga mereka di kampung halaman
di Indramayu. Uang yang dikirim dan dikonsumsi untuk membeli barang dan jasa
tentunya akan berdampak positif bagi perekonomian lokal. Dampak positif
akan sangat besar apabila dikonsumsi untuk membeli produk local karena akan
memunculkan multiplier effects yang berkontribusi dalam meningkatkan
tumbuh dan berkembangnya kegiatan produksi local. Yang kemudian pada akhirnya
membuat Indramayu menjadi daerah maju. Namun sebaliknya, dampak positif akan
mengecil bagi Indramayu apabila uang tersebut digunakan untuk membeli produk
luar seperti sepeda motor, minuman keras, berlibur ke luar daerah, belanja ke
daerah tetangga ( misalnya ke Cirebon ). Artinya, semakin banyak uang dari luar
masuk dan beredar ke Indramayu, maka semakin berkembang daerah “kota mangga”
ini. Oleh karena itu, dengan kata lain tenaga kerja yang bekerja di luar daerah
Indramayu dikategorikan sebagai kegiatan basis.
Von Thunen (1986)
Perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian
dari tempat produksi kepasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang
ada disuatu daerah. Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal
dipusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen
menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva
permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya
produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuannya untuk membayar
sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan makan makin
besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat kepusat pasar, begitu pula
sebaliknya.
Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari sisi kegiatan pertanian
atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan yang
paling mahal adalah di pusat pasar dan akan semakin rendah apabila makin jauh
dari pasar.Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya
produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar
sewa lahan. jadi intinya lahan itu harganya tinggi jika berlokasi di pusat kota
dan murah apabila makin jauh dari pusat kota.
Asumsi-asumsi
dalam model Von Thunen:
• Wilayah
analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota
lain.
• Tipe
pemukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin berkurang kepadatannya apabila menjauhi pusat
wilayah.
• Seluruh
fasilitas model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam.
• Fasilitas
pengangkutan adalah primitif (sesuai pada zamannya) dan relatif seragam.
• Ongkos
ditentukan oleh berat barang yang dibawa kecuali perbedaan jarak ke pasar,
semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan
konstan.
TEORI LOKASI
BIAYA MINIMUM WEBER
Alfred weber seorang ahli ekonomi jerman menulis buku berjudul uberden
standort der industrien pada tahun 1909. Weber menganalisis lokasi kegiatan
industry. Weber mendasarkan teori nya bahwa pemilihan lokasi industry didasarkan
atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industry
tergantung pada totoal biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan
keduanya harus minimum.
Beliau mengembangkan konsep tiga
arah yang dikenal dengan teori segitiga lokasi (locational triangle)
seperti gambar berikut, yang kemudian dirumuskan secara matematis dengan sebuah
persamaan.
T(k) = q [ ( k1 a1 n1 )
+ (k2 a2 n2 ) + m k3 ]
di mana :
T(k) = biaya
angkut minimum
M = sumber
bahan baku
C = pasar
K = lokasi
optimal industri
q = output
(hasil produksi)
k = jarak
dari sumber bahan baku dan pasar
a = koefisien
input
n = biaya
angkut bahan baku
m = biaya angkut hasil
produksi
Prinsip teori Weber adalah bahwa penentuan lokasi industri ditempatkan di
tempat-tempat yang resiko biaya atau biayanya paling murah atau minimal (least
cost location) yaitu tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga
kerja di mana penjumlahan
keduanya minimum,tempat dimana total biaya
transportasi dan tenaga kerja yang minimumyang cenderung identik dengan
tingkat keuntungan yang maksimum. Prinsip tersebut didasarkan pada enam asumsi
bersifat prakondisi, yaitu :
1. Wilayah bersifat homogen dalam hal topografi, iklim dan penduduknya
(keadaan penduduk yang dimaksud menyangkut jumlah dan kualitas SDM)
2 Ketersediaan sumber daya bahan mentah.
3.Upah tenaga kerja.
4. Biaya pengangkutan bahan mentah ke lokasi pabrik (biaya
sangat ditentukan oleh bobot bahan mentah dan lokasi bahan mentah)
5 Persaingan antar kegiatan industri.
6. Manusia berpikir secara rasional.
Weber
bertitik tolak pada asumsi bahwa:
1. Unit
telahan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogeny, konsumen
terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan
sempurna.
2. Beberapa
sumber daya alam seperti air, pasir dan batu tersedia dimana-mana dalam jumlah
yang memadai.
3. Material
lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadic dan
hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
4. Tenaga
kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada
beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.
Menurut
weber dari ketiga asumsi diatas ada tiga factor yang mempengaruhi lokasi
industry yaitu biaya transfortasi, biaya upah tenaga kerja, dan kekuatan
agglomerasi atau deagglomerasi. Weber memberi contoh 3 arah sebagai berikut.
Konsep ini dinyatakan sebagai segitiga lokasi atau locational triangle seperti
Untuk
menunjukan lokasi optimum tersebut lebih dekat kelokasi bahan baku atau pasar,
weber merumuskan indeks material (IM) sebagai berikut.
IM = bobot
bahan baku local/ Bobot produk akhir
Apabila IM
>1 , perusahanan akan berlokasi dekat ke bahan baku dan apabila IM < 1
perusahan akan berlokasi dekat pasar.
Dalam menentukan lokasi industri, terdapat tiga faktor penentu, yaitu biaya
transportasi, upah tenaga kerja, dan dampak aglomerasi dan deaglomerasi. Biaya
transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan
berat barang, sehingga titik terendah biaya transportasi menunjukkan biaya
minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi. Biaya
transportasi akan bertambah secara proporsional dengan jarak. titik terendah
biaya transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan
bahan baku (input) dan distribusi hasil produksi (output).
TEORI LOKASI PENDEKATAN PASAR LOSCH
dan MEMAKSIMUMKAN LABA
TEORI LOKASI
PENDEKATAN PASAR LOSCH
Losch melihat persoalan dari sis permintaan (pasar). Lorch mengatakan bahwa
lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumalah konsumen makin enggan
membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin
mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang
identik dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini adalah mengikuti pandangan
Christaller seperti diuraikan terdahulu. Atas dasar pandangan diatas Losch
cendrung menyarankan agar lokasi produksi berada dipasar atau didekat
pasar.
TEORI LOKASI
MEMAKSIMUMKAN LABA
D.M. Smith (dikutip dari glasoon, 1974) dengan menitrodusir konsep average
cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait
dengan lokasi. Dengan asumsi jumalah produksi adalah sama maka dapat dibuat
kurve average cost (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi. Dilain
sisi dapat pula dibuat kurve average revenue yang terkait dengan lokasi .
kemudian kedua kurve itu digabung dan dimana terdapat selisih average revenue
dikurngi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi yang memberikan
keuntungan maksimal .
Mr grone (1969) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan
keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidak pastian yang tinggi dan dalam
analisis dinamik. Menurut isard (1956) masalah lokasi merupakan penyeimbang
antara biaya dengan pendapatan yang diharapkan pada suatu situasi
ketidakpastian yang berbeda-beda. Keuntungan relative dari lokasi bisa saja
sangat dipengaruhi pada tiap waktu oleh factor dasar:
a. Biaya
input atau bahan baku
b. Biaya
transportasi
c.
Keuntungan agglomerasi
Richardson (1969) mengemukakan bahwa aktifitas ekonomi atau perusahaan
cendrung untuk berlokasi pada pusat kegiatan sebagai usaha mengurangi
ketidakpastian dalam keputusan yang diambil guna meminumkan resiko. Dan
sedangkan Klaasen (1972) menekankan peranan preferensi lokasi seperti peranan
amenitas dama menarik industry-industri saling mendekat dimana lokasi
perusahaan ditentukan dengan mempertimbangkan penyediaan input dan besarnya
pasar yang dihadapi. Ia menyatakan bahwa semakin besar suatu kota, tidak hanya
penyediaan input yang semakin besar melainkan juga daerah pasarnya pun lebih
besar.
Terdapat tiga pendekatan perhitungan laba maksimum yaitu :
- Pendekatan Totalitas (totality approach)
Pendekatan totalitas membandingkan pendapatan total (TR) dan biaya total (TC). Jika harga jual per unit output (P) dan jumlah unit output yang terjual (Q), maka TR = P.Q. Biaya total adalah jumlah biaya tetap (FC) ditambah biaya variable per unit(v) dikali biaya variable per unit, sehingga:
π = P.Q – (FC + v.Q)
Implikasi dari pendekatan totalitas adalah perusahaan menempuh strategi penjualan maksimum (maximum selling). Sebab semakin besar penjualan makin besar laba yang diperoleh. Hanya saja sebelum mengambil keputusan, perusahaan harus menghitung berapa unit output yang harus diproduksi untuk mencapai titik impas. Kemudian besarnya output tadi dibandingkan dengan potensi permintaan efektif.
- Pendekatan Rata-rata (average approach)
Dalam pendekatan ini perhitungan laba per unit dilakukan dengan membandingkan antara biaya produksi rata-rata (AC) dengan harga jual output (P) kemudian laba total dihitung dari laba per unit dikali dengan jumlah output yang terjual.
π = (P - AC).Q
Dari persamaan ini, perusahaan akan mencapai laba bila harga jual per unit output (P) lebih tinggi dari biaya rata-rata (AC). Perusahaan akan mencapai angka impas bila P sama dengan AC.
Keputusan untuk memproduksi atau tidak didasarkan perbandingan besarnya P dengan AC. Bila P lebih kecil atau sama dengan AC, perusahaan tidak mau memproduksi. Implikasi pendekatan rata-rata adalah perusahaan atau unit usaha harus menjual sebanyak-banyaknya (maximum selling) agar laba (π) makin besar.
- Pendekatan Marginal (marginal approach)
Perhitungan laba dilakukan dengan membandingkan biaya marginal (MC) dan pendapatan marginal (MR). Laba maksimum akan tercapai pada saat MR = MC.
π = TR – TC
Laba maksimum tercapai bila turunan pertama fungsi π(δ π /δQ) sama dengan nol dan nilainya sama dengan nilai turunan pertama TR (δTR/ δQ atau MR) dikurangi nilai turunan pertama TC (δTC/ δQ atau MC). Sehingga MR – MC = 0. Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh laba maksimum (atau kerugian minimum) bila ia berproduksi pada tingkat output di mana MR = MC.
- Pendekatan Totalitas (totality approach)
Pendekatan totalitas membandingkan pendapatan total (TR) dan biaya total (TC). Jika harga jual per unit output (P) dan jumlah unit output yang terjual (Q), maka TR = P.Q. Biaya total adalah jumlah biaya tetap (FC) ditambah biaya variable per unit(v) dikali biaya variable per unit, sehingga:
π = P.Q – (FC + v.Q)
Implikasi dari pendekatan totalitas adalah perusahaan menempuh strategi penjualan maksimum (maximum selling). Sebab semakin besar penjualan makin besar laba yang diperoleh. Hanya saja sebelum mengambil keputusan, perusahaan harus menghitung berapa unit output yang harus diproduksi untuk mencapai titik impas. Kemudian besarnya output tadi dibandingkan dengan potensi permintaan efektif.
- Pendekatan Rata-rata (average approach)
Dalam pendekatan ini perhitungan laba per unit dilakukan dengan membandingkan antara biaya produksi rata-rata (AC) dengan harga jual output (P) kemudian laba total dihitung dari laba per unit dikali dengan jumlah output yang terjual.
π = (P - AC).Q
Dari persamaan ini, perusahaan akan mencapai laba bila harga jual per unit output (P) lebih tinggi dari biaya rata-rata (AC). Perusahaan akan mencapai angka impas bila P sama dengan AC.
Keputusan untuk memproduksi atau tidak didasarkan perbandingan besarnya P dengan AC. Bila P lebih kecil atau sama dengan AC, perusahaan tidak mau memproduksi. Implikasi pendekatan rata-rata adalah perusahaan atau unit usaha harus menjual sebanyak-banyaknya (maximum selling) agar laba (π) makin besar.
- Pendekatan Marginal (marginal approach)
Perhitungan laba dilakukan dengan membandingkan biaya marginal (MC) dan pendapatan marginal (MR). Laba maksimum akan tercapai pada saat MR = MC.
π = TR – TC
Laba maksimum tercapai bila turunan pertama fungsi π(δ π /δQ) sama dengan nol dan nilainya sama dengan nilai turunan pertama TR (δTR/ δQ atau MR) dikurangi nilai turunan pertama TC (δTC/ δQ atau MC). Sehingga MR – MC = 0. Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh laba maksimum (atau kerugian minimum) bila ia berproduksi pada tingkat output di mana MR = MC.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber :
Rahardja, Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi(Microekonomi dan macroekonomi) edisi revisi. Jakarta : FEUI
Rahardja, Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi(Microekonomi dan macroekonomi) edisi revisi. Jakarta : FEUI
http://habib-geo.blogspot.com/2012/11/teori-lokasi-pendekatan-pasar-losch-dan.html
Komentar
Posting Komentar