EKONOMI REGIONAL


TEORI BASIS DAN NON BASIS EKONOMI
Dalam pengertian ekonomi regional dikenal adanya pengertian sector basis dan sektor non basis. Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya, 1996). Inti dari teori basis ekonomi menurut Arsyad, dalam Sadau (2002) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation).

Pendekatan basis ekonomi sebenarnya dilandasi pada pendapat bahwa yang perlu dikembangkan di sebuah wilayah adalah kemampuan berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut secara efisien dan efektif. Secara umum, analisis ini digunakan untuk menentukan sector  basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor andalannya. Pentingnya ditetapkan komoditas unggulan di suatu wilayah (nasional, provinsi dan kabupaten) dengan metode LQ, didasarkan pada pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas. Selain itu hanya komoditas-komoditas yang diusahakan secara efisien yang mampu bersaing secara berkelanjutan, sehingga penetapan komoditas unggulan menjadi keharusan agar sumberdaya pembangunan di suatu wilayah lebih effisien dan terfokus (Handewi, 2003). Lebih
lanjut model ini menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah atas dua sektor,
yaitu:
1. Sektor basis, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani baik pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Sektor basis mampu menghasilkan produk/jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah. Itu berarti daerah secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk mengekspor barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain. Artinya sektor ini dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah sendiri maupun daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan.
2. Sektor non basis, yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu melayani pasar daerah itu sendiri sehingga permintaannya sangat dipengaruhi kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non unggulan. Menurut Tarigan (2007), metode untuk memilah kegiatan basis dan kegiatan non basis adalah sebagai berikut :
a. Metode Langsung dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku saha kemana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkanproduk tersebut. Kelemahan metode ini yaitu : pertanyaan yang berhubungan dengan pendapatan data akuratnya sulit diperoleh, dalam kegiatan usaha sering tercampur kegiatan basis dan non basis.
b. Metode Tidak Langsung Metode ini dipakai karena rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari sudut waktu dan biaya. Metode ini menggunakan asumsi, kegiatan tertentu diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lain yang bukan dikategorikan basis adalah otomatis menjadi kegiatan basis.
c. Metode Campuran Metode ini dipakai pada suatu wilayah yang sudah berkembang, cukup banyak usaha yang tercampur antara kegiatan basis dan kegiatan non basis. Apabila dipakai metode asumsi murni maka akan memberikan kesalahan yang besar, jika dipakai metode langsung yang murni maka akan cukup berat. Oleh karena itu orang melakukan gabungan antara metode langsung dan metode tidak langsung yang disebut metode campuran. Pelaksanaan metode campuran dengan melakukan survei pendahuluan yaitu pengumpulan data sekunder, kemudian dianalisis mana kegiatan basis dan non basis. Asumsinya apabila 70 persen atau lebih produknya diperkirakan dijual ke luar wilayah maka maka kegiatan itu langsung dianggap basis. Sebaliknya apabila 70 persen atau lebih produknya dipasarkan ditingkat lokal maka langsung dianggap non basis. Apabila porsi basis dan non basis tidak begitu kontras maka porsi itu harus ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut harus dilakukan survei lagi dan harus ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan data sekunder dan sektor mana yang membutuhkan sampling pengumpulan data langsung dari pelaku usaha.
d. Metode Location Quotient Metode LQ membandingkan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sector tertentu untuk lingkup wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor yang sama untuk lingkup wilayah yang lebih besar.           

               LQ =
Ket :
li  =   Banyaknya lapangan kerja sector i di wilayah analisis
e    =  Banyaknya lapangan kerja di wilayah analisis
Li  =   Banyaknya lapangan kerja sector i secara nasional
E   =   Banyaknya lapangan kerja secara nasional

Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sector kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Dari rumus diatas, apabila LQ > 1 berarti porsi lapangan kerja atau nilai tambah sektor i di wilayah analisis terhadap total lapangan kerja atau nilai tambah wilayah adalah lebih besar dibandingkan dengan porsi lapangan kerja atau nilai tambah untuk sektor yang sama secara nasional. LQ > 1 memberikan indikasi bahwa sektor tersebut adalah basis sedangkan apabila LQ < 1 berarti sektor tersebut adalah non basis.

Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang  sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Menurut Hendayana (2000), kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Penyelesaian analisis cukup dengan spread sheet dari Excel bahkan jika datanya tidak terlalu banyak kalkulator pun bisa digunakan. Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Sebaik apapun hasil olahan LQ tidak akan banyak manfaatnya jika data yang digunakan tidak valid. Oleh karena itu sebelum memutuskan menggunakan analisis ini maka validitas data sangat diperlukan. Disamping itu untuk menghindari bias diperlukan nilai rata-rata dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun. Sementara itu di lapangan, mengumpulkan data yang panjang ini sering mengalami hambatan. Keterbatasan lainnya dalam deliniasi wilayah kajian. Untuk menetapkan batasan wilayah yang dikaji dan ruang lingkup aktivitas, acuannya sering tidak jelas. Akibatnya hasil hitungan LQ terkadang aneh, tidak sama dengan apa yang kita duga. Misalnya suatu wilayah provinsi yang diduga memiliki keunggulan di sektor non pangan, yang muncul malah pangan dan sebaliknya. Oleh karena itu data yang dijadikan sumber bahasan sebelum digunakan perlu diklarifikasi terlebih dahulu dengan beberapa sumber data lainnya, sehingga mendapatkan gambaran tingkat konsistensi data yang mantap dan akurat . Inti dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak (Budiharsono, 2001).
Teori basis ini selanjutnya menyatakan bahwa karena sektor basis menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijual keluar daerah yang meningkatkan pendapatan daerah tersebut, maka secara berantai akan meningkatkan investasi yang berarti menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap industriy basic, tetapi juga menaikkan permintaan akan industry non basic. Dengan dasar teori ini maka identifikasi sektor unggulan/sektor basis sangat penting terutama dalam rangka  menentukan prioritas dan perencanaan pembangunan ekonomi didaerah. Oleh karena itu perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Manfaat mengetahui sektor unggulan yaitu mampu memberikan indikasi bagi perekonomian secara nasional dan regional. Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sector lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung terhadap sector unggulan tersebut yaitu akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi (technological progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Bank Indonesia, 2005).

Nah, sekarang bagaimana kaitan Teori Basis Ekspor dengan isu persoalan tenaga kerja Indramayu. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuahan suatu wilayah adalah penduduk. Faktor penduduk dari segi kuantitas maupun kualitas akan sangat menentukan suatu daerah tumbuh atau malah mengalami kemunduran. Salah satu fenomena yang terjadi di “kota mangga” Kabupaten Indramayu adalah banyak dari penduduknya yang bekerja di luar daerah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri ( TKI ). ( maaf penulis belum mendapatkan data pasti jumlah penduduk Indramayu yang bekerja di luar daerah atau luar negeri, apabila ada pembaca yang tahu datanya tolong beri tahu penulis ). Namun sebagai gambaran, jumlah penduduk desa Sukaurip Kecamatan Balongan Indramayu pada tahun 2005 adalah sekitar 3000 jiwa, sedangkan yang bekerja di luar negeri sekitar 700 jiwa. Itu tidak termasuk penduduk yang bekerja di luar daerah Indramayu yang masih di dalam negeri seperti Batam, Dumai, Kalimantan, Papua, Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
                Tentunya kita sepakat bahwa para pekerja asal Indramayu banyak menghasilkan uang dari luar yang kemudian dikirimkan ke keluarga mereka di kampung halaman di Indramayu. Uang yang dikirim dan dikonsumsi untuk membeli barang dan jasa tentunya akan berdampak positif bagi perekonomian lokal.  Dampak positif akan sangat besar apabila dikonsumsi untuk membeli produk local karena akan memunculkan multiplier effects yang berkontribusi dalam meningkatkan tumbuh dan berkembangnya kegiatan produksi local. Yang kemudian pada akhirnya membuat Indramayu menjadi daerah maju. Namun sebaliknya, dampak positif akan mengecil bagi Indramayu apabila uang tersebut digunakan untuk membeli produk luar seperti sepeda motor, minuman keras, berlibur ke luar daerah, belanja ke daerah tetangga ( misalnya ke Cirebon ). Artinya, semakin banyak uang dari luar masuk dan beredar ke Indramayu, maka semakin berkembang daerah “kota mangga” ini. Oleh karena itu, dengan kata lain tenaga kerja yang bekerja di luar daerah Indramayu dikategorikan sebagai kegiatan basis.
 
Von Thunen (1986)
 Perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat produksi kepasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada disuatu daerah. Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal dipusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuannya untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan makan makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat kepusat pasar, begitu pula sebaliknya.
 Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari sisi kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan yang paling mahal adalah di pusat pasar dan akan semakin rendah apabila makin jauh dari pasar.Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. jadi intinya lahan itu harganya tinggi jika berlokasi di pusat kota dan murah apabila makin jauh dari pusat kota.
Asumsi-asumsi dalam model Von Thunen:
•        Wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain.
•        Tipe pemukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin berkurang       kepadatannya apabila menjauhi pusat wilayah.
•        Seluruh fasilitas model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam.
•        Fasilitas pengangkutan adalah primitif (sesuai pada zamannya) dan relatif seragam.
•        Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.

TEORI LOKASI BIAYA MINIMUM WEBER
Alfred weber seorang ahli ekonomi jerman menulis buku berjudul uberden standort der industrien pada tahun 1909. Weber menganalisis lokasi kegiatan industry. Weber mendasarkan teori nya bahwa pemilihan lokasi industry didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industry tergantung pada totoal biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum.
Beliau mengembangkan konsep tiga arah yang dikenal dengan teori segitiga lokasi (locational triangle) seperti gambar berikut, yang kemudian dirumuskan secara matematis dengan sebuah persamaan.
 T(k) = q [ ( k1 a1 n1 ) + (k2 a2 n2 ) + m k3 ]
di mana :
T(k) = biaya angkut minimum
M = sumber bahan baku
C = pasar
K = lokasi optimal industri
q = output (hasil produksi)
k = jarak dari sumber bahan baku dan pasar
a = koefisien input
n = biaya angkut bahan baku
m = biaya angkut hasil produksi

Prinsip teori Weber adalah bahwa penentuan lokasi industri ditempatkan di tempat-tempat yang resiko biaya atau biayanya paling murah atau minimal (least cost location) yaitu tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya minimum,tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimumyang cenderung identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Prinsip tersebut didasarkan pada enam asumsi bersifat prakondisi, yaitu :
1. Wilayah bersifat homogen dalam hal topografi, iklim dan penduduknya (keadaan penduduk yang dimaksud menyangkut jumlah dan kualitas SDM)
2  Ketersediaan sumber daya bahan mentah.
3.Upah tenaga kerja.
4.  Biaya pengangkutan bahan mentah ke lokasi pabrik (biaya sangat ditentukan oleh bobot bahan mentah dan lokasi bahan mentah)
5 Persaingan antar kegiatan industri.
6. Manusia berpikir secara rasional.

Weber bertitik tolak pada asumsi bahwa:
1. Unit telahan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogeny, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.
2. Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu tersedia dimana-mana dalam jumlah yang memadai.
3. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadic dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.
Menurut weber dari ketiga asumsi diatas ada tiga factor yang mempengaruhi lokasi industry yaitu biaya transfortasi, biaya upah tenaga kerja, dan kekuatan agglomerasi atau deagglomerasi. Weber memberi contoh 3 arah sebagai berikut. Konsep ini dinyatakan sebagai segitiga lokasi atau locational triangle seperti
Untuk menunjukan lokasi optimum tersebut lebih dekat kelokasi bahan baku atau pasar, weber merumuskan indeks material (IM) sebagai berikut.
IM = bobot bahan baku local/ Bobot produk akhir
Apabila IM >1 , perusahanan akan berlokasi dekat ke bahan baku dan apabila IM < 1 perusahan akan berlokasi dekat pasar.
Dalam menentukan lokasi industri, terdapat tiga faktor penentu, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan dampak aglomerasi dan deaglomerasi. Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik terendah biaya transportasi menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi. Biaya transportasi akan bertambah secara proporsional dengan jarak. titik terendah biaya transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku (input) dan distribusi hasil produksi (output).
 
TEORI LOKASI PENDEKATAN PASAR LOSCH dan MEMAKSIMUMKAN LABA

TEORI LOKASI PENDEKATAN PASAR LOSCH

Losch melihat persoalan dari sis permintaan (pasar). Lorch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumalah konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini adalah mengikuti pandangan Christaller seperti diuraikan terdahulu. Atas dasar pandangan diatas Losch cendrung menyarankan agar lokasi produksi berada dipasar atau didekat pasar.  

TEORI LOKASI MEMAKSIMUMKAN LABA

D.M. Smith (dikutip dari glasoon, 1974) dengan menitrodusir konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumalah produksi adalah sama maka dapat dibuat kurve average cost (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi. Dilain sisi dapat pula dibuat kurve average revenue yang terkait dengan lokasi . kemudian kedua kurve itu digabung dan dimana terdapat selisih average revenue dikurngi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal .

Mr grone (1969) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidak pastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik. Menurut isard (1956) masalah lokasi merupakan penyeimbang antara biaya dengan pendapatan yang diharapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda-beda. Keuntungan relative dari lokasi bisa saja sangat dipengaruhi pada tiap waktu oleh factor dasar:
a. Biaya input atau bahan baku
b. Biaya transportasi
c. Keuntungan agglomerasi
Richardson (1969) mengemukakan bahwa aktifitas ekonomi atau perusahaan cendrung untuk berlokasi pada pusat kegiatan sebagai usaha mengurangi ketidakpastian dalam keputusan yang diambil guna meminumkan resiko. Dan sedangkan Klaasen (1972) menekankan peranan preferensi lokasi seperti peranan amenitas dama menarik industry-industri saling mendekat dimana lokasi perusahaan ditentukan dengan mempertimbangkan penyediaan input dan besarnya pasar yang dihadapi. Ia menyatakan bahwa semakin besar suatu kota, tidak hanya penyediaan input yang semakin besar melainkan juga daerah pasarnya pun lebih besar.

Terdapat tiga pendekatan perhitungan laba maksimum yaitu :
- Pendekatan Totalitas (totality approach)
Pendekatan totalitas membandingkan pendapatan total (TR) dan biaya total (TC). Jika harga jual per unit output (P) dan jumlah unit output yang terjual (Q), maka TR = P.Q. Biaya total adalah jumlah biaya tetap (FC) ditambah biaya variable per unit(v) dikali biaya variable per unit, sehingga:
π = P.Q – (FC + v.Q)
Implikasi dari pendekatan totalitas adalah perusahaan menempuh strategi penjualan maksimum (maximum selling). Sebab semakin besar penjualan makin besar laba yang diperoleh. Hanya saja sebelum mengambil keputusan, perusahaan harus menghitung berapa unit output yang harus diproduksi untuk mencapai titik impas. Kemudian besarnya output tadi dibandingkan dengan potensi permintaan efektif.

- Pendekatan Rata-rata (average approach)
Dalam pendekatan ini perhitungan laba per unit dilakukan dengan membandingkan antara biaya produksi rata-rata (AC) dengan harga jual output (P) kemudian laba total dihitung dari laba per unit dikali dengan jumlah output yang terjual.
π = (P - AC).Q
Dari persamaan ini, perusahaan akan mencapai laba bila harga jual per unit output (P) lebih tinggi dari biaya rata-rata (AC). Perusahaan akan mencapai angka impas bila P sama dengan AC.
Keputusan untuk memproduksi atau tidak didasarkan perbandingan besarnya P dengan AC. Bila P lebih kecil atau sama dengan AC, perusahaan tidak mau memproduksi. Implikasi pendekatan rata-rata adalah perusahaan atau unit usaha harus menjual sebanyak-banyaknya (maximum selling) agar laba (π) makin besar.

- Pendekatan Marginal (marginal approach)
Perhitungan laba dilakukan dengan membandingkan biaya marginal (MC) dan pendapatan marginal (MR). Laba maksimum akan tercapai pada saat MR = MC.
π = TR – TC
Laba maksimum tercapai bila turunan pertama fungsi π(δ π /δQ) sama dengan nol dan nilainya sama dengan nilai turunan pertama TR (δTR/ δQ atau MR) dikurangi nilai turunan pertama TC (δTC/ δQ atau MC). Sehingga MR – MC = 0. Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh laba maksimum (atau kerugian minimum) bila ia berproduksi pada tingkat output di mana MR = MC.




DAFTAR PUSTAKA

Sumber :
Rahardja, Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi(Microekonomi dan macroekonomi) edisi revisi. Jakarta : FEUI

http://habib-geo.blogspot.com/2012/11/teori-lokasi-pendekatan-pasar-losch-dan.html



Komentar

Postingan Populer